DOKTRIN TENTANG DIAM | Rinten ndalu tansah kinanthi Gusti
Home » » DOKTRIN TENTANG DIAM

DOKTRIN TENTANG DIAM

Oleh aspeknasjateng on Selasa, 11 Juni 2013 | 10.34



 Jika berita datang dari wajah Syamsuddin, matahari di Langit Keempat menyembunyikan diri karena malu.
Sejak namanya hadir ke dalam hidupku, harus aku sampaikan isyarat karunianya itu.
Jiwaku merenggut jubahku: ia menangkap parfum gamisnya Yusuf.
Ia berkata: ”Demi persahabatan kita yang telah bertahun-tahun, ceritakanlah salah satu dari kegembiraan yang luar biasa,
Agar bumi dan langit dapat tertawa dengan gembira, supaya akal dan ruh serta penglihatan dapat meningkat seratus kali.”
Aku berkata: ”Janganlah meletakkan tugas kepadaku, karena aku telah hilang dari diriku (fana); kepandaianku tumpul, aku tak tahu bagaimana memuji.
Adalah tak pantas, apabila seseorang yang belum kembali ke kesadaran memaksakan diri untuk berperan sebagai pembual.
Bagaimana aku dapat – tanpa sadar – melukiskan Sang Teman yang tanpa tolak bandingnya itu?
Penggambaran tentang luka hati yang sepi ini sebaiknya kutunda hingga lain waktu,”
Ia menyahut: ”Berilah aku makanan, karena aku lapar, dan cepatlah, karena waktu (waqt) adalah sebilah pedang yang tajam.
Sufi adalah anak sang ’waktu’ (ibnul-waqt), Wahai teman: bukan cara kebiasaannya untuk berkata besok.
Maka, apakah engkau bukan seorang Sufi? Apa yang ada di tangan jadi habis berkurang karena tertundanya pembayaran?
Aku berkata kepadanya: ”Lebih baik rahasia Teman tetap tersamar: dengarkanlah karena ia termasuk dalam isi cerita.
Lebih baik rahasia para pencinta diceritakan (secara alegoris) dalam pembicaraan orang lain.”
Ia berseru: ”Ceritakanlah dengan jelas dan terus terang tanpa kebohongan: jangan membuatku menunggu, O orang yang lalai!
Angkatlah selubung dan bicaralah terus terang. Aku tak berpakaian ketika tidur bersama Yang Maha Terpuji.”
Aku berkata: ”Apabila Dia harus telanjang dalam pandanganmu, takkan tahan dada dan pinggangmu.
Mintalah, tapi mintalah secara wajar: sehelai jerami takkan dapat menyangga sebuah gunung.
Jika Matahari, yang menyebabkan dunia ini bersinar, lebih dekat sedikit saja, semua yang ada akan terbakar.
Janganlah mencari kesulitan dan kerusuhan serta pertumpahan darah: janganlah bicara lagi tentang Matahari dari Tabriz!”


TAK TAHU

Lihatlah, karena aku tak tahu tentang diriku, dengan nama Tuhan apa yang harus kuperbuat kini?
Aku tidak menyembah Salib ataupun Sabit; aku bukan seorang Gabar maupun seorang Yahudi.
Rumahku bukan di Timur ataupun di Barat, bukan di daratan maupun di lautan; aku tak bersanak-keluarga dengan Malaikat ataupun jembalang.
Aku bukan ditempa dari api ataupun busa, aku dibentuk bukan dari debu maupun embun.
Aku lahir bukan di Cina yang jauh, bukan di Bulgaria bukan di Saqsin.
Bukan di India, yang bersungai lima, bukan di Irak ataupun di Khurasan aku tumbuh dewasa.
Bukan di dunia ini atau di dunia sana Aku tinggal, bukan di Surga atau di Neraka;
Bukan dari Firdaus ataupun Ridwan aku jatuh, bukan pula dari Adam aku bernenek-moyang.
Di suatu tempat yang ada di balik tempat, di suatu bidang tanpa jejak dan hayang,
Jiwa dan tubuh yang meninggi aku tinggal di dalam jiwa Kekasihku Yang Maha Esa!


SAAT BERSATU

 Aku tak sama dengan Sang Raja – bahkan jauh berbeda – meskipun kuperoleh cahaya dari sinar-Nya.
Keserbasamaan bukanlah dalam hal bentuk dan esensi: air menjadi serba-sama dengan tanah dalam tetumbuhan.
Karena jenisku bukan jenis Rajaku, egoku musnah (fana') demi Ego-Nya.
Egoku musnah, Dia sajalah yang tinggal: aku mengepul seperti debu di bawah kaki kuda-Nya.
Kepribadian-diri menjadi debu: hanya bekasnya tampak pada cap kaki-Nya di atas debu.
Jadilah debu di bawah kaki-Nya demi cap-kaki itu dan jadilah laksana mahkota di atas kepala Sang Kaisar!

 
ABADINYA KEHIDUPAN

Seluruh kemampuan manusia tidaklah permanen: seluruhnya akan musnah pada hari Kebangkitan.
Namun cahaya kesadaran dan seluruh ruh nenek moyang kita bukanlah sirna semuanya, laksana rerumputan.
Mereka yang telah meninggal dunia bukanlah tidak-ada: mereka terendam dalam Sifat-sifat Ilahi.
Seluruh sifatnya terhisap ke dalam Sifat-sifat Ilahi, sama seperti hilangnya bintang-bintang oleh hadirnya matahari.
Jika engkau menanyakan sumber dari Al-Qur'an, bacalah ayat, ”Setiap mereka semuanya akan dikumpulkan lagi ke Hadapan Kami (muhdarun).
Orang yang disebut dengan kata muhdarun bukanlah tidak-ada. Renungkanlah, sehingga engkau dapat memperoleh pengetahuan yang pasti tentang abadinya kehidupan ruh.
Ruh yang terhalang dari kehidupan abadi berada dalam kesengsaraan; ruh yang senantiasa bersatu dengan Tuhan terbebas dari berbagai rintangan.
 

APAKAH KEPRIBADIAN ITU BERLANJUT

 Tiada darwis di dunia; dan seandainya ada, darwis itu sesungguhnya tidak-ada.
Dia ada menurut kelangsungan esensinya, namun sifat-sifatnya padam karena Sifat-sifat Ilahi.
Seperti cahaya lilin di hadapan matahari, nyatanya ia tidak-ada, meskipun ia ada menurut hitungan resmi.
Esensi api itu tetap ada sejauh bila engkau menaruh kapas di atasnya, kapas itu akan dilahapnya.
Namun pada kenyataannya ia tidak-ada: ia tidak memberimu cahaya, karena mentari telah memudarkannya.
Apabila satu ons cuka dilarutkan ke dalam seratus muk gula, Rasa asam itu tiada ketika engkau mencicipi gula, meskipun ia ada sebagai kelebihan ketika engkau menimbangnya.
Di hadapan seekor singa, kijang menjadi tak sadarkan diri: kehadirannya hanyalah sebuah tabir bagi singa itu.
Analogi-analogi yang dilukiskan manusia tidak ada sempurna mengenai perbuatan Tuhan adalah laksana emosi cinta, mereka bukannya tidak sopan.
Perasaan pencinta terlontar tanpa rasa malu, dia berterus terang kepada Sang Raja.
Dia tampak kurang sopan, karena tuntutan cintanya melibatkan persamaan hak dengan Sang Kekasih;
Tapi lihatlah lebih dalam: apa yang dia tuntut? Baik dia maupun tuntutannya tidak berarti apa-apa di hadapan Sultan itu.
Mata Zaydun (Zayd mati): kalau Zayd adalah pelaku (subyek, menurut tata bahasa), sesungguhnya dia bukanlah pelaku, karena dia mati.
Dia adalah pelaku hanya menurut ungkapan tata bahasa; sebaliknya dialah orang yang dikenai pekerjaan, dan maut adalah pembunuhnya.
Kemampuan apakah yang masih tersisa pada orang yang telah ditaklukkan sampai segala sifat seorang pelaku hilang dari dirinya?
 

JIWA DUNIA

 Aku telah berkeliling sebentar bersama sembilan Ayah di setiap Langit.
Aku telah beredar bertahun-tahun dnegan bintang-bintang dalam tanda-tanda mereka.
Aku tak terlihat sebentar, aku telah tinggal bersama-Nya. Aku telah berada di dalam Kerajaan dari ”atau lebih dekat lagi,” aku melihat apa yang pernah kulihat.
Aku menerima makanan dari Tuhan, seperti seorang bayi di dalam kandungan:
Aku telah lahir berulang-kali, manusia lahir hanya sekali.
Berbusana dalam sebuah mantel jasmani, aku menyibukkan diri dengan urusan-urusan duniawi,
Dan sering sudah kurobek mantel dengan tanganku sendiri. Kulewatkan malam bersama para asketis di dalam biara, Aku telah tidur bersama orang-orang kafir di depan berhala-berhala dalam biara,
Akulah kepedihan dari si pencemburu, akulah nyeri dari si sakit. Akulah awan dan hujan: aku telah terkena hujan di tengah padang rumput.
O darwis! Pada garmisku tak pernah menempel debu kematian, Telah kuhimpun kekayaan mawar di taman keabadian. Aku bukanlah dari air maupun api, aku bukanlah dari angin liar.
Aku bukanlah dari lempung yang dibentuk: kutertawakan mereka semua.
O anak, aku bukan Syams-i Tabriz, aku adalah Cahaya murni. Jika engkau melihatku, hati-hatilah! Jangan ceritakan kepada siapapun apa yang telah engkau lihat!


PENDEWAAN DIRI

 Apabila seekor lebah tercelup dalam madu, seluruh anggota tubuh-nya terserap oleh keadaan yang sama, dan ia tidak dapat bergerak. Demikian pula istilah istighraq (terserap dalam Tuhan) digunakan untuk seseorang yang tidak mempunyai kesadaran atau inisiatif ataupun sendiri. Setiap tindakannya bukan miliknya. Apabila ia masih meronta dalam air, atau apabila ia berseru, ”Oh, aku tenggelam,” ia tidak bisa di-katakan berada dalam keadaan terserap. Inilah yang diisyaratkan oleh kata-kata Ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan). Orang menganggap itu adalah pernyataan yang sombong, padahal adalah benar-benar sombong pernyataan yang menyatakan Ana al-’abd (Aku adalah hamba Tuhan); dan ”Ana al-Haqq” (Aku adalah Tuhan) adalah sebuah ungkapan kerendahan hati yang sangat dalam. Orang yan menyatakan Ana al-’abd (Aku adalah hamba Tuhan) menegaskan adanya dua wujud, wujudnya sendiri dan wujud Tuhan, sedangkan dia yang menyatakan Ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan) membuat dirinya bukan-wujud dan menyerahkan dirinya seraya berseru ”Aku adalah Tuhan,” yakni ”Aku tiada, Dia-lah segalanya: tiada wujud kecuali wujud Tuhan. Inilah ke-rendahan hati dan penghinaan diri yang berlebihan.


MANUSIA-ILAHI

 Memuji dan memuliakannya adalah mengagungkan Tuhan: buah Ilahi tumbuh dari hakekat dasar baki ini.
Apel tumbuh dari keranjang ini dengan berbagai kehalusan ragam: bukanlah keburukan jika engkau menyebutnya dengan nama ”pohon”.
Sebutlah keranjang ini ”Pohon-Apel”, karena di antara keduanya ada perpaduan tersembunyi.
Anggaplah keranjang ini Pohon keberuntungan dan duduklah dengan tenang di bawah naungannya.


 PENDAKIAAN RUHANI

Apabila engkau ikut serta dalam barisan mereka yang mengadakan Pendakian, ketiadaan akan membawamu ke atas bagaikan Buraq.
Itu bukanlah seperti naiknya makhluk hidup ke bulan; bukan, melainkan seperti naiknya pohon tebu ke gula.
Itu bukanlah seperti naiknya asap ke langit; bukan itu, melainkan seperti naiknya embrio ke rasionalitas.


PERKEMBANGAN MANUSIA

 Mula-mula dia muncul dalam alam benda-mati;
Kemudian masuk ke dunia tumbuh-tumbuhan dan hidup
Bertahun-tahun sebagai tetumbuhan, tak ingat lagi akan
Apa yang telah dia alami, lalu melangkah maju
Ke kehidupan hewan, dan sekali lagi
Tak ingat akan kehidupan tetumbuhan itu.
Kecuali ketika dirinya tergerak senang,
Pada tetumbuhan di musim bunga-binga berkembang indah.
Seperti bayi-bayi yang mencari puting susu dan tak tahu mengapa.
Sekali lagi Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana sebagaimana engkau ketahui
Memindahkannya dari alam hewani
Ke tingkat Manusia; demikianlah dari satu alam ke alam lainnya dia
Bergerak, ia mendai pandai,
Cerdik dan bijak, sebagaimana dia kini.
Tak terkenang lagi akan keadaan sebelumnya,
Dan dari jiwanya yang sekarang pun dia akan diubah pula.
Sekalipun dia tertidur, Tuhan tidak akan membiarkannya,
Dalam kelalaiannya ini. Ketika terjaga, dia
Akan tertawa mengingat mimpi-mimpi yang menyusahkannya,
Serta terheran-heran betapa bahagi kehidupannya.
Dia dapat melupakan dan tak merasakan bahwa seluruh
Kesusahan dan kesengsaraan itu akibat dari tidur
Dan tipu-muslihat serta ilusi yang sia-sia. Maka dunia ini
Akan tampak abadi, meskipun itu hanyalah mimpi orang yang tertidur;
Yang, ketika Hari yang telah ditetapkan tiba, akan melarikan diri
Dari bayang-bayang gelap yang menghantuinya,
Dan berpaling sambil mentertawakan momok kesedihannya
Ketika dia melihat tempat tinggalnya yang abadi-lestari.
 

”MASAKLAH SEMUANYA

 Karena engkau tak mampu mengemban Cahaya yang terbuka, minumlah kata-kata Hikmah, karena cahayanya terselubung.
Hingga akhirnya engkau mampu menerima Cahaya, dan melihat apa yang kini tersembunyi tanpa kerudung.
Serta melintasi langit laksana sebuah bintang; bukan, perjalanan mutlak, tanpa angkasa.
Demikianlah engkau menjadi ada dari ketiadaan. Bagaimana engkau datang? Engkau datang secara tak sadar.
Jalan kedatanganmu tak engkau ingat, namun aku ingin memberimu sebuah tanda.
Biarkanlah pikiranmu pergi, kemudian waspadalah! Tutuplah telingamu, kemudian dengar!
Tidak, sebaiknya aku tak bercerita, karena engkau masih mentah; engkau masih dalam musim semimu, engkau tak dapat melihat musim panas.
Dunia ini laksana pohon: kita adalah laksana buah yang setengah matang melekat padanya.
Buah-buah yang masih mentah melekat erat pada cabang pohon, karena untuk Istana mereka belumlah pantas;
Namun ketika mereka ranum dan menjadi manis serta lezat – maka, mereka akan kehilangan cabang.
Sama seperti kerajaan duniawi yang akan kehilangan kelezatannya bagi mereka yang mulutnnya telah menjadi manis oleh kebahagiaan yang tiada terkira.
Ada yang tetap tak terkisah, namun Ruh Qudus akan menceritakan kepadamu tanpa aku sebagai perantara.
Bukan, engkau akan menceritakannya kepada telingamu sendiri – bukan aku ataupun orang lain, Wahai engkau yang bersatu denganku –
Seperti, ketika engkau tertidur, engkau pergi dari hadapan dirimu ke hadapan dirimu
Dan mendengar dari dirimu bahwa apa yang engkau pikirkan diceritakan secara rahasia kepadamu oleh seseorang dalam mimpi.
Wahai teman yang baik, engkau bukanlah ”engkau” semata: engkau adalah langit dan lautan yang dalam.
Kekuasaan ”Engkau”-mu yang maha luas adalah lautan yang di dalamnya ribuan ”engkau” tenggelam.
Janganlah berbicara, hingga engkau dapat mendengar dari Sang Pembicara apa yang tak dapat diucapkan atau dibayangkan.
Janganlah berbicara, sehingga Ruh mau bercakap padamu: dalam bahtera Nabi Nuh berhentilah berenang!
Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS